Dalam
riwayat diceritakan, bahwa saat Kesultanan Banten terdesak oleh Agresi Militer
Belanda pada pertengahan abad ke-16, diutuslah tiga maulana yang berpangkat
Tumenggung untuk membuat perkampungan pertahanan di wilayah yang berbatasan
dengan Batavia. Ketiga Tumenggung itu adalah, Tumenggung Aria Yudhanegara, Aria
Wangsakara, dan Aria Jaya Santika. Mereka segera membangun basis pertahanan
dan pemerintahan di wilayah yang kini dikenal sebagai kawasan Tigaraksa.
Jika
merunut kepada legenda rakyat dapat disimpulkan bahwa cikal-bakal Kabupaten
Tangerang adalah Tigaraksa. Nama Tigaraksa itu sendiri berarti Tiang Tiga atau
Tilu Tanglu, sebuah pemberian nama sebagai wujud penghormatan kepada tiga
Tumenggung yang menjadi tiga pimpinan ketika itu. Seorang putra Sultan Ageng
Tirtayasa dari Kesultanan Banten membangun tugu prasasti di bagian Barat Sungai
Cisadane, saat ini diyakini berada di Kampung Gerendeng. Waktu itu, tugu yang
dibangun Pangeran Soegri dinamakan sebagai Tangerang, yang dalam bahasa Sunda
berarti tanda. Prasasti yang tertera di tugu tersebut ditulis dalam huruf Arab
”gundul” berbahasa Jawa kuno yang berbunyi ”Bismillah pget Ingkang
Gusti/Diningsun juput parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/Rengsena
perang netek Nangaran/Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa
Sitingsun Parahyang”. Yang berarti ”Dengan nama Allah Yang Maha Kuasa/Dari Kami
mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang
kita memancangkan tugu/untuk mempertahankan batas Timur Cipamungas (Cisadane)
dan Barat Cidurian/Semua menjaga tanah kaum Parahyang. Sebutan ”Tangeran” yang
berarti ”tanda” itu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi Tangerang sebagaimana
yang dikenal sekarang ini.
Dikisahkan,
bahwa kemudian pemerintahan ”Tiga Maulana”, ”Tiga Pimpinan” atau ”Tilu Tanglu”
tersebut tumbang pada tahun 1684, seiring dengan dibuatnya perjanjian antara
Pasukan Belanda dengan Kesultanan Banten pada 17 April 1684. Perjanjian
tersebut memaksa seluruh wilayah Tangerang masuk ke kekuasaan Penjajah Belanda.
Kemudian, Belanda membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Kesultanan
Banten di bawah pimpinan seorang bupati. Para bupati yang pernah memimpin
Kabupaten Tangerang di era pemerintahan Belanda pada periode tahun 1682-1809
adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII.
Setelah
keturunan Aria Soetadilaga dinilai tidak mampu lagi memerintah Kabupaten
Tangerang, Belanda menghapus pemerintahan ini dan memindahkannya ke Batavia.
Kemudian Belanda membuat kebijakan, sebagian tanah di Tangerang dijual kepada
orang-orang kaya di Batavia, yang merekrut pemuda-pemuda Indonesia untuk
membantu usaha pertahanannya, terutama sejak kekalahan armadanya di dekat
Kepulauan Midway dan Kepulauan Solomon. Kemudian pada tanggal 29 April 1943
dibentuklah beberapa organisasi militer, di antaranya yang terpenting ialah
Keibodan (barisan bantu polisi) dan Seinendan (barisan pemuda). Disusul
pemindahan kedudukan Pemerintahan Jakarta ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M.
Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa
Madoera.
Seiring
dengan status daerah Tangerang ditingkatkan menjadi Daerah Kabupaten, maka
daerah Kabupaten Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibu Kota. Di wilayah Pulau Jawa
pengelolaan pemerintahan didasarkan pada Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang
dikeluarkan setelah Jepang berkuasa. Undang-undang ini menjadi landasan
pelaksanaan tata Negara yang asas pemerintahannya militer. Panglima Tentara
Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, diserahi tugas untuk membentuk
pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian diangkat sebagai gunseibu. Seiring
dengan hal itu, pada bulan Agustus 1942 dikeluarkan Undang-undang nomor 27 dan
28 yang mengakhiri keberadaan gunseibu. Berdasarkan Undang-undang nomor 27,
struktur pemerintahan militer di Jawa dan Madura terdiri atas Gunsyreikan
(pemerintahan pusat) yang membawahi Syucokan (residen) dan dua Kotico (kepala
daerah istimewa). Syucokan membawahi Syico (wali kota) dan Kenco (bupati).
Secara
hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (wedana), Sonco (camat) dan Kuco
(kepala desa). Pada tanggal 8 Desember 1942 bertepatan dengan peringatan Hari
Pembangunan Asia Raya, pemerintah Jepang mengganti nama Batavia menjadi
Jakarta. Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan,
dari 18 menjadi 19 kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah
mengubah status Tangerang dari kewedanaan menjadi kabupaten. Perubahan status
ini didasarkan pada dua hal:
kota
Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (kotapraja)
Pemerintah
Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya
luas.
Atas
dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9 November 1943
yang isinya:
"Menoeroet
kepoetoesan Gunseikan tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi
1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka
dipermakloemkan seperti di bawah ini:
Pasal
1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang
Gun, Tangerang Ken.
Pasal
2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken.
Atoeran
tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal 27 boelan 12 tahoen
Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603).
Djakarta Syuutyookan."
Sejalan
dengan keluarnya surat keputusan tersebut, Atik Soeardi yang menjabat sebagai
pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat, Raden Pandu Suradiningrat, diangkat
menjadi Bupati Tangerang (1943-1944). Semasa Bupati Kabupaten Tangerang
dijabat, H. Tadjus Sobirin (1983-1988 dan 1988-1993) bersama DPRD Kabupaten
Tangerang pada masa itu, menetapkan hari jadi Kabupaten Tangerang tanggal 27
Desember 1943 (Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 1984 tanggal 25 Oktober 1984).
Seiring dengan pemekaran wilayah dengan terbentuknya pemerintah Kota Tangerang
tanggal 28 Februari 1993 berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993, maka
pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pindah ke Tigaraksa. Pemindahan ibu kota
ke Tigaraksa dinilai strategis, karena menggugah kembali cita-cita dan semangat
para pendiri untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang bebas
dari belenggu penjajahan (kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan) menuju
masyarakat yang mandiri, maju dan sejahtera.